Rupiah Masih Diposisi Sama Rp14.800-14.990 Per Dolar AS

Jurnal Hub. Akhir-akhir ini pertumbuhan perekonomian Indonesia semakin mengalami guncangan. Mata uang Indonesia semakin lemah terhadap dolar Amerika, yaitu melemah 0,1 persen atau bertengger di level Rp14.835 dibanding penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.820 pada perdagangan hari ini, Senin (10/9/18).

Menurut analis pasar uang PT Bank Mandiri Tbk, Reny Eka Putra, mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebabkan kekhawatiran investor global terhadap risiko perang dagang antara AS dan China, sehingga menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.

Di samping itu, kata dia, data nonfarm payrolls atau NFP Amerika Serikat lebih tinggi dibanding ekspektasi, atau mencapai 201 ribu dari perkiraan 109 ribu. Hal ini mendukung kuatnya sentimen kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS atau Fed Fund Rate.

“Sentimen pelemahan rupiah masih berlanjut dari sell of di emerging market dan kekhawatiran risiko trade war AS-China. Yang terbaru dari data nonfarm payrolls AS yang dirilis di atas ekspektasi yang mendukung kenaikan FFR ke depan,” kata dia, Senin (10/9/18).

Adapun dari sisi domestik, Reny menilai, yang memengaruhi adalah rilis cadangan devisa yang memang sudah diperkirakan pelaku pasar mengalami penurunan karena porsinya digunakan untuk stabilitas rupiah.

Atas dasar itu, Reny memperkirakan rupiah dalam jangka pendek akan masih bergejolak di rentang Rp14.800 hingga Rp14.920 per dolar AS.

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, proyeksi rupiah pada 10-14 September 2018 bergerak pada level Rp14.840-Rp14.990 per dolar AS.

Menurutnya, tren pelemahan rupiah diwaspadai terus berlanjut hingga akhir September dipicu oleh rencana kenaikan Fed Rate 25 basis poin. Sebelumnya, bunga acuan The Fed yang naik berkebalikan dengan yield treasury bond 10 tahun yang turun menjadi 2,88 persen per 6 September 2018.

“Prediksi ini sesuai dengan teori inverted yield curves, di mana yield surat utang AS jangka panjang menurun, sedangkan yield jangka pendek menurun. Artinya, ekspektasi investor dalam jangka pendek khawatir adanya market crash dan lebih memilih membeli surat utang yang bertenor jangka panjang. Inverted yield curves menjadi indikator pra krisis global sejak tahun 1970-an,” ujarnya.

Dan mengutip dari data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, Senin (10/9/18), rupiah diperdagangkan rata-rata antarbank Rp14.835 per dolar AS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maria Londa Gagal Pertahankan Medali Emas

Begini Kata Sandiaga Soal Janji Pulangkan Rizieq

Papua berbenah agar PON 2020 tidak dipindah